Anda Belum Login,
silakan login atau register ?
Login Register
Pilih Edisi
Pilih Edisi
background
Buka Bisnis Kuliner di Zaman Digital
Reksadana Jagoan Penghasil Cuan

background
Tetap Bertahan dengan Olahan Ayam
BISNIS KULINER | 25 Februari 2020
Tetap Bertahan dengan Olahan Ayam
KULINER olahan ayam goreng tepung atau biasa disebut fried chicken, hingga saat ini memang tidak ada matinya. Nara Fried Chicken menawarkan paket investasi sebesar Rp 2,85 juta dan Rp 4,5 juta.

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tidak bisa dipungkiri, daging ayam adalah salah satu makanan favorit di Indonesia. Konsumsi ayam orang Indonesia diperkirakan 12,5 kg per kapita per tahun. Itu masih sangat sedikit, misalnya dibandingkan dengan   konsumsi ayam Malaysia yang mencapai 40 kg per kapita per tahun.

Namun begitu, berbagai olahan ayam niscaya mendapatkan pasarnya masing-masing di negara ini. Jadi, prospek usaha kuliner berbahan ayam ini relatif cerah.

Olahan ayam yang banyak dikonsumsi orang adalah nugget. Usaha membuat nugget relatif tidak sulit, bahannya mudah didapat di pasar, peralatannya bisa alat dapur. Hanya saja, Anda harus pintar mencari celah, karena pebisnis nugget sangat banyak. Skala bisnisnya beragam, pabrikan sampai rumahan.

Martha Wijayanti, misalnya, sejak 2015 membuat nugget isi mozarella, karage, dan chicken katsu. “Saya khusus jualan di grup healthy food,” kata dia.

Pasalnya, menurut Yanti, olahan ayamnya ini enggak pakai pengawet dan penyedap, sehingga bisa dikonsumsi mereka yang peduli dengan kesehatan.

Untuk membuat olahan ayam ini, menurut Yanti, dirinya membutuhkan mesin giling daging dan food processor. Mesin giling dibelinya dengan harga Rp 5 juta, sedangkan food processor harganya Rp 1,2 juta per buah.

Karena kesibukan rutinnya, Yanti hanya membuat nugget saban akhir pekan. Sekali bikin, menurut dia, membutuhkan sekitar 15 sampai 20 ekor ayam. Alhasil, ia menghabiskan sekitar Rp 2 juta untuk belanja bahan baku.

“Ayamnya harus segar, karena mau dibikin frozen,” ujarnya. Semua ayam itu diolah menjadi sekitar 150 kemasan, yang masing-masing berisi  15 sampai 25 potong nugget. Harganya antara Rp 25 ribu sampai Rp 60 ribu.

Nah, selain nugget, banyak sekali varian olahan ayam yang bisa digarap, seperti ayam goreng, ayam krispi, ayam bakar. Tentu, yang belakangan ngetren adalah ayam geprek.

Fenomena ayam geprek dimulai ketika Ayam Gepuk Pak Gembus milik Rido Nurul merajalela. Rido merintis bisnis tahun 2013. Ia dapat ide dari ramainya gerai ayam dan sambal. “Bisnis berbau sambal itu tak ada yang sepi,” katanya kepada Tri Sulistiowati dari KONTAN. Ayam goreng jadi pilihannya karena lauk ini disukai banyak kalangan.

Rido membuka lapak kecil di Pesanggrahan untuk Ayam Gepuk Pak Gembus. Rido tidak langsung sukses. Warungnya sepi, hingga ia sempat ingin menyerah. Tapi, pada bulan ke delapan, warungnya mendapat untung Rp 150.000 yang jadi motivasi Rido.

Tahun 2015, ia menawarkan kemitraan untuk Ayam Gepuk Pak Gembus, hingga terhitung lebih dari 650 gerai di Indonesia. Saban hari, jaringan ini membutuhkan 13 ton ayam untuk memuaskan konsumennya.

Gerai Pak Gembus memang sudah ada di mana-mana, tapi Anda masih bisa mencicipi cuan ayam geprek. Seperti dilakukan oleh Agung Prasetyo Utomo, pemilik Ayam Geprek Juara di Rawamangun, Jakarta Timur.

Agung memilih usaha ayam karena tidak kenal suku dan agama. ‘‘Buktinya, masyarakat Bali tidak mengkonsumsi daging sapi, sementara ayam bisa dikonsumsi semua masyarakat,’’ ucap Agung yang bikin Ayam Geprek Juara pada 2017.

Meski baru tiga tahun berdiri, Agung mengaku dapat laba tak sedikit. Diakui Agung hal ini tak lepas dari riset dan pemasaran yang dilakukan bersama empat rekannya. ‘‘Saya dan teman-teman ke beberapa kedai ayam geprek di Jogjakarta, dan kami pelajari metode usahanya. Setelah tahu, kami patungan modal, buka kedai Juara,’’ tambahnya.

Setiap hari, Agung bisa menjual 900 porsi paket ayam geprek dengan harga Rp 15.000. Jika dihitung, saban bulan, omzet yang diperolehnya mencapai Rp 405 juta. Dari total omzet yang didapat, Agung mengaku mendapat margin sekitar 20%.

Dengan total balik modal selama 16 bulan. ‘‘Maklum pengeluaran untuk sewa tempat, bahan baku dan pegawai cukup besar,’’ terangnya.

Stephani Aiko, pemilik Ayam Geprek Master ini malah bisa menjual 200 porsi per hari. Dengan menu ayam geprek seharga Rp 15.000 sampai Rp 25.000 per porsi, Stephani meraup omzet Rp 120 juta per bulan. 

“Balik modalnya paling lama setahun. Tapi kalau punya tempat sendiri bisa lebih cepat,” sebut Stephani

Stephani bilang usaha ayam geprek akan memimpin olahan ayam lain, saat ini sampai tiga tahun mendatang. Sebab, menurut Stephani, ayam geprek berbeda dengan yang lain. Ada sentuhan sambal yang membuat konsumen ‘nagih’ untuk makan.

“Makanya tak heran kalau usaha ayam geprek menjanjikan,” imbuh Stephani.

Ayam Gepruk Wonogiri (Agewo)

Ciptakan Citarasa Khas

Stephani menjelaskan saat membuka usaha Juni 2017, hal utama yang diperhatikan adalah citarasa makanan. Karena ini makanan, jadi harus layak dikonsumsi dan enak di lidah masyarakat Indonesia.

Stephani pun tak ragu menawarkan ayam geprek melalui media online. “Mau ratusan ayam geprek berdiri, atau dijual secara online, saya tidak pesimis. Karena saya tahu Ayam Geprek Master punya rasa enak,” ujarnya.

Nah, Stephani menghimbau para pelaku usaha yang ingin menjajal usaha ini harus paham jenis sambal lebih dahulu. Seperti dirinya yang di awal usaha belajar ‘ulek’ dan meracik sendiri.

Disebutkan Stephani, modal yang dikeluarkan untuk menyajikan menu ayam geprek tidak banyak. Untuk sayuran, ayam dan beras, dirinya menggelontorkan biaya Rp 5 juta  di awal usaha. Sisanya untuk membeli peralatan masak seperti deep fryer, chiller, penggorengan, kuali total Rp 45 juta.

Ayam didapat dari pemasok langganan Stephani. Sehingga tidak sulit untuk mendapatkan daging ayam setiap hari. Senada, Agung berpendapat bahwa stok ayam di kedai tidak boleh habis.

Dan yang tak kalah penting, olahan ayam dengan bumbu sambal harus punya keunikan tersendiri. Misalnya di Ayam Geprek Juara, sambalnya dibuat langsung di depan pelanggan.

“Jadi sambal diulek langsung di depan pelanggan. Karena konsepnya prasmanan,” beber Agung.

Dengan konsep prasmanan tersebut, Agung mengaku mengeluarkan modal Rp 400 juta. Pasalnya, kata Agung, sewa tempat saja sudah Rp 100 juta, kemudian renovasi dan membeli peralatan, belum lagi untuk membeli bahan baku di awal usaha Rp 20 juta dan menyiapkan perlengkapan makan di kedai.

Agung menyarankan, Anda bisa melihat dan mencari bisnis ayam geprek yang telah buka cukup lama. Kemudian amati, tiru dan modifikasi. Bukan berarti menjiplak secara keseluruhan, namun, modifikasi dengan keunikan.

Misalnya penyajian ayam geprek dengan konsep prasmanan, atau sambal yang dibuat harus berbeda.

Stephani menegaskan bahwa selain modifikasi, pelaku usaha harus menciptakan varian ayam geprek baru, sehingga konsumen tidak bosan.

Stephani mengingatkan pegawai yang membantu di dapur juga harus dilatih dan sering dipantau. Sebab, Stephani pernah mengalami kesulitan pegawai karena tidak memiliki performa.

Untuk persoalan pegawai, Agung berkelakar bahwa semua harus berakar pada pemilik usaha. Jika cara kepemimpinannya menyenangkan, pegawai akan betah.

Salah satu yang mampu membuat betah pegawai adalah gaji yang layak. Itulah mengapa, Agung bilang 15% dari margin dialihkan untuk gaji pegawai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Reporter: Hendrika Yunapritta, Jane Aprilyani
Editor: Havid Vebri
Share :
Artikel Lainnya