Anda Belum Login,
silakan login atau register ?
Login Register
Pilih Edisi
Pilih Edisi
background
Buka Bisnis Kuliner di Zaman Digital
Reksadana Jagoan Penghasil Cuan

background
Jualan Aksesoris Sepeda Lebih Moncer Lewat Komunitas
SEPEDA | 13 September 2020
 Jualan Aksesoris Sepeda Lebih Moncer Lewat Komunitas

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Booming aktivitas bersepeda turut mendatangkan berkah bagi sederet bisnis yang bersinggungan dengan sepeda. Termasuk, aksesoris sepeda. Tak hanya aksesoris yang melekat pada sepeda, seperti tas, pedal atau sadel, yang banyak dicari. Permintaan aksesoris yang dikenakan pesepeda alias goweser, seperti sarung tangan, helm hingga jersey, pun ikut terdongkrak.

Tania Hermawan, founder Zuna Sport di Semarang, bercerita, penjualan sarung tangan melonjak sampai 200% dalam empat bulan terakhir. Dia bilang, dalam sebulan bisa terjual sekitar 3.000 pasang sarung tangan. Padahal, sebelumnya, rata-rata penjualan 1.500 pasang sebulan.

Zuna Sport dirintis Tania pada 2014 khusus untuk membidik pasar domestik. Tapi, usaha manufaktur sarung tangan ini sejatinya sudah beroperasi sejak 30 tahun silam di bawah PT Holi Karya Sakti. Perusahaan garmen ini memproduksi aneka sarung tangan untuk sederet brand ternama di dunia. Kapasitas produksinya mencapai 250.000 pasang sebulan.

Kata Tania, setelah mengambil kendali usaha dari tangan ayahnya, ia mulai merancang merek sendiri, yaitu Zuna Sport. Saat itu, belum banyak brand lokal skala besar yang menyasar ritel. "Tren bersepeda saat itu mulai naik, seiring mulai diproduksinya sepeda (brand luar) secara massal di Indonesia," tutur dia.

Saat ini, Zuna Sport memiliki kapasitas produksi 5.000 pasang sebulan. Ada lebih dari 40 model sarung tangan yang dibuat. Mulai dari bahan kulit, sintetis kulit hingga suede. Ada desain model khusus bagi pesepeda gunung, roadbike maupun sepeda lipat. Tania mematok harga sarung tangan sepeda mulai Rp 99.000 hingga Rp 499.000 per pasang.

Merek Zuna kini bisa mencetak omzet sekitar Rp 300 juta sebulan. Marginnya, kata Tania, sekitar 5%.

Peningkatan permintaan juga dirasakan Ahmad Syaikhu, produsen tas sepeda custom di Tangerang. Dia bilang, ada puluhan order yang masih mengantre saat ini. Sayang, pemilik merek Bagcycle ini maksimal hanya bisa menyelesaikan 15-20 unit tas sepeda dalam sebulan. Maklum, ini usaha sampingan yang dikerjakan secara mandiri. Tas model framebag buatannya dibanderol bervariasi mulai dari Rp 175.000 hingga Rp 250.000.

Tak ketinggalan, pedagang atau pengecer aksesoris sepeda ikut diuntungkan. Setiawan, pemilik online shop Vesantra Aksesoris Sepeda bilang, setahun belakangan, aksesori dan sparepart terutama terkait sepeda lipat yang banyak dicari. Setelah berita new normal peningkatan drastis, dua sampai tiga kali lipat dari normalnya, ungkap pria yang memulai usahanya sejak 2015.

Dalam sebulan, Setiawan bisa menjual lebih dari 1.000 pieces aksesoris. Toko onlinenya menyediakan aksesoris, mulai dari baut, lampu LED, sarung tangan, helm, jersey hingga rem sepeda. Harganya variatif, mulai dari ribuan rupiah hingga jutaan rupiah.

Dia mengaku, margin antara 5% hingga 100%, tergantung jenis barang. Yang jelas, semakin mahal harga barang, maka margin makin kecil. Di samping juga, semakin banyak kompetitor barang sejenis, otomatis margin lebih kecil.

Tertarik berbisnis aksesoris sepeda? Simak pengalaman tiga pelaku bisnis ini.

  • Zuna Sport

Meski sudah menjajal usaha sarung tangan puluhan tahun, tak serta merta Zuna Sport mudah meraih pasar di domestik. Tania bercerita, setahun pertama, merogoh biaya marketing sangat besar. Bisa sampai Rp 50 juta sebulan. Selain mengikuti event sepeda, juga untuk biaya endorsement.

Maklum, konsumen Indonesia masih sering mencari produk branded tapi tiruan alias KW. Kualitas bukan faktor utama membeli sarung tangan. Jadi kami harus mengedukasi user untuk memakai produk lokal yang berkualitas namun harga terjangkau, tutur Tania.

Nah, jurus pendekatan paling utama melalui komunitas sepeda yang kerap menggelar event. Dari komunitas itu pula, Zuna bisa mendapatkan feedback produk yang betul-betul dibutuhkan pesepeda. Selain menjadi sponsor event, Tania bersama 10 karyawannya juga rajin menggelar seminar di kampus dan memaksimalkan kanal media sosial.

Upaya ini tak sia-sia. Menurut Tania, mulai ada peningkatan penjualan setiap tahun. Sebelumnya, kami harus rajin menyambangi distributor. Tapi, kini malah mereka yang cari kami, ujar perempuan 31 tahun ini.

Selain kanal pemasaran melalui online dan media sosial, produk Zuna juga dipasarkan melalui toko-toko sepeda dan di pusat perbelanjaan seluruh Indonesia.

Khusus kanal online, Tania bilang, Zuna membuat season berbeda-beda. Karena membidik milenial, maka harus kreatif memanfaatkan momentum. Misalnya, pada perayaan HUT RI Agustus ini, Zuna meluncurkan lima model sarung tangan sepeda spesial bertema merah putih dengan peta Indonesia di desainnya.

Bulan ini juga sekaligus kami reframe dari Zuna Spot menjadi Zuna Gloves, beber Tania. Penamaan Zuna Gloves diharapkan bisa memberikan imaji di publik: Zuna jagonya sarung tangan. Kelak, tak hanya memproduksi sarung tangan sepeda dan fitness, tapi juga yang terkait dengan life style, seperti memancing, treking, hingga bilyard.

Tania optimistis pada prospek bisnis sarung tangan di pasar domestik. Sebab, olahraga outdoor semakin ngetren di dalam negeri. Begitu pula dengan tren bersepeda diyakini bukan tren sesaat. Menurut dia, sekali mencoba bersepeda maka bisa kecanduan. Apalagi, banyak komunitas yang rajin mengajak publik beraktivitas menggunakan sepeda.

Hanya saja, bagi pemula yang ingin terjun ke bisnis ini, Tania menyarankan memulai dengan menjadi reseller atau distributor. Sebab, butuh biaya besar untuk membangun sistem produksi dan desain dinamis mengikuti selera pasar. Belum lagi, membeli bahan baku berkualitas produksi domestik tak bisa dalam skala kecil. Apalagi butuh ongkos besar untuk marketing produk.

Tak heran, kata Tania, Zuna pun baru bisa balik modal pada tahun ke-4.

  • Bagcycle

Lantaran skala usahanya masih kecil, Ahmad Syaikhu hanya merogoh kocek Rp 1 juta untuk modal usahanya pada 2014. Kala itu, modal terbesar untuk beli mesin jahit bekas dan bahan baku.

Produksi awal berupa tas model pannier, yaitu tas yang dipasang pada sepeda touring menggunakan rak. Namun, belakangan ini, dia lebih banyak membuat tas model frame bag. Berbeda dengan pannier, tas ini tidak membutuhkan rak sebagai penyangga, tapi dipasang di celah segitiga sepeda. Bisa pula dipasang di sadel maupun handle bar.

Kata Ikhu, panggilan akrabnya, dia beralih membuat model frame bag, lantaran proses produksinya lebih cepat. Selain itu, bahannya lebih mudah dibentuk. Peminatnya juga banyak, karena lebih simpel dibanding pannier, tutur dia.

Ikhu mengaku tak sulit mencari pembeli. Bergabung dalam komunitas sepeda membuka jalan baginya memasarkan produknya. Apalagi, dia bercerita, ketika 2014, produsen tas sepeda masih sedikit.

Beberapa tahun terakhir, peminat Bagcycle semakin banyak. Hanya saja, pria yang juga karyawan sebuah perusahaan kontraktor ini, mengaku, tak sanggup memenuhi semua order. Kemampuannya hanya 15-20 tas sebulan. Maklum, dia mengerjakan pesanan tas hanya di akhir pekan.

Menurutnya, tak mudah mencari pekerja yang dapat membuat patern tas persis sesuai oderan. Padahal, kualitas produk jadi pertaruhan bagi produk custom, beber Ikhu.

Tantangan lain, masalah bahan baku. Ikhu berniat menggunakan bahan dengan kualitas lebih bagus. Sayangnya, bahan yang diinginkan belum diproduksi di dalam negeri. Dia bilang, bahan tersebut produksi Thailand. "Kalau saya pakai bahan impor itu, dengan harga jual tas saya sekarang, ya over," tutur dia.

Toh, Ikhu optimistis mengembangkan usaha ini. Apalagi, bisnis tas custom memberikan margin cukup gemuk. Saat ini, tanpa ongkos pekerja, dia bisa meraih margin 60%-70% dari setiap tas.

Agar kapasitasnya bisa bertambah, Ikhu berencana mencari karyawan yang mumpuni membuat pattern dan menjahit. Ia juga akan menambah mesin dengan kapasitas lebih besar. Jika bisnis ini digarap serius, bukan sampingan, kata Ikhu, dalam sebulan satu orang bisa menghasilkan 40 tas.

  •  Vesantra Aksesoris Sepeda

Ketika merintis online shop Vesantra pada 2015 silam, Setiawan hanya bermodal Rp 3 juta. Uang itu untuk membeli aksesoris seperti helm sepeda dari distributor di Tangerang. Dia tertarik membuka toko di marketplace lantaran tidak terikat waktu. Kebetulan pula, saat itu belum banyak yang jual aksesoris sepeda. Padahal, peminatnya mulai banyak.

Seiring waktu, Setiawan kini mengambil pasokan barang langsung dari pabrik. Mayoritas impor. Sebab, dia bilang, masih jarang aksesoris produksi dalam negeri. Kalaupun ada brand lokal yang ada di sini, kebanyakan asal luar juga, tutur pria yang mempekerjakan tujuh karyawan ini.

Selama lima tahun bergelut di usaha aksesoris sepeda, Setiawan bilang, tren permintaan cukup stabil, malah tahun ini ada kenaikan signifikan. Tapi, dia tak menampik, ada siklus penurunan permintaan, misalnya saat momen Hari Raya dan sehabis pergantian tahun.

Agar bisa bersaing di pasar online, Vesantra pun menyediakan lebih banyak varian produk. Menurut Setiawan, dia biasanya mengira-ngira barang apa yang bakal banyak dicari konsumen berdasarkan pengalamannya. Kadang coba-coba, imbuh pria 30 tahun ini.

Selain ragam produk, demi menarik konsumen, harga pun harus kompetitif. Maka, tak jarang, dia membuat promosi, seperti diskon harga dan bebas ongkir.

Nah, bagi yang tertarik menggeluti bisnis aksesoris online, kata Setiawan, tak harus bermodal jumbo. Bagi pemula, bisa dimulai dengan modal perangkat ponsel/laptop dan internet. Sedangkan, untuk barang bisa sistem dropship dari suplier. Tidak wajib stok produk di awal.

Juga tidak harus merekrut pekerja. Bisa dimulai dari diri sendiri. Jadi semua orang punya kesempatan untuk berbisnis aksesoris online, asal ada niat, imbuh dia.

Tapi, perlu diingat, Anda setidaknya harus punya pengetahuan tentang sepeda. Sebab, harus bisa menjawab pertanyaan konsumen mengenai produk yang ditawarkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Reporter: Dupla Kartini
Editor: Hendrika
Share :
Artikel Lainnya